Beranda

Total Tayangan Halaman

Senin, 08 Agustus 2011

Urgensi Pendidikan Berkarakter

Oleh: Raudatul Jannah (01577/2008)
Diajukan dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Dasar-Dasar Filsafat
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang

Pendahuluan

UUD 1945 tentang pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Sayangnya, sudah banyak kasus belakangan ini yang menunjukkan bahwa pendidikan kita terbilang gagal dalam menghasilkan lulusan manusia Indonesia yang berkualitas, tidak cuma dari segi pengetahuan dan skill, tapi seharusnya juga bagus secara tingkah laku dan moralnya. Betapa panjang berita tanah air yang berisi tentang amburadulnya moral anak bangsa. Belum lama ini, ada kasus Ariel-Luna Maya dengan video tindakan amoralnya atau kasus Gayus Tambunan menambah deretan panjang bukti tidak berhasilnya pendidikan kita selama ini. Banyak lulusan sekolah yang piawai mengerjakan soal kimia dan matematika, tapi mereka tidak punya perilaku dan akhlak yang mulia untuk membangun bangsa. Beragam fenomena tadi mengantarkan kita pada pertanyaan, apakah yang telah terjadi pada bangsa ini, yang katanya sangat menjunjung tinggi nilai moral dan peradaban? Masyarakat sepertinya sekarang sudah serba permisif dengan kejanggalan-kejanggalan yang ada di sekitarnya. Mereka seperti tidak punya beban moral lagi menyaksikan atau melihat fakta betapa tingginya angka aborsi di kalangan remaja. Bogor Educare mengutip laporan Antara menyatakan bahwa ada 30% remaja yang melakukan aborsi dari 2,3 juta setiap tahunnya, bahkan tingkat kasus Kehamilan yang Tidak Diinginkan meraih angka 150.000 hingga 200.000 kasus setiap tahunnya.
Menyadari hal ini, Kementerian Pendidikan Nasional mewacanakan tentang pendidikan berkarakter yang dicanangkan untuk sekolah tingkat dasar sampai tingkat lanjut. Menurut Prof Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan Pendidikan Nasional, pendidikan berkarakter perlu dilaksanakan semenjak dini untuk memudahkan mereka menemukan kepribadian yang positif. Wajar saja pendidikan berkarakter ini dilaksanakan mengingat banyak sekali lulusan sekolah dan sarjana yang bisa menjawab soal dan piawai dalam ujian, namun punya mental yang lemah dan penakut, dan punya perilaku tidak terpuji. Lebih buruk, dana pendidikan yang dialokasikan sepertinya tidak banyak membantu memecahkan persoalan mendasar dunia pendidikan Indonesia, yakni manusia yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter.

Apakah Pendidikan Berkarakter Itu?

Dr. Ratna Megawangi dalam bukunya Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007) menyatakan bahwa pendidikan berkarakter yaitu pendidkan yang bertujuan untuk adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, meliputi proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Ia memberikan contoh tentang bagaimana suksesnya pemerintah China menerapkan pendidikan berkarakter sejak awal tahun 1980-an.
Ahli lainnya, Doni Koesoema Albertus (seorang sarjana teologi lulusan Universitas Gregoriana Roma Italia) menyatakan bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter. Namun, ia berpendapat agama tidak dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang plural. Ia menuliskan bahwa di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah. Karenanya, ia menyimpulkan bahwa nilai-nilai moral lebih efektif daripada nilai-nilai agama.
Ditinjau dari perspektif Islam, tentu saja hal ini bertentangan karena didalam Islam nilai-nilainya benar-benar memegang peranan penting dalam kehidupan seseorang, terutama dengan pembentukan karakternya. Seorang muslim di dalam kehidupan sehari-harinya dituntut untuk berakhlak atau berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agamanya. Inilah titik perbedaan mendasar antara pendidikan Islam dengan pendidikan dunia Barat. Maka munculah pertanyaan baru, bagaimanakah seharusnya kita membangun pendidkan berkarakter itu?

Berkaca Pada Madinah

Seperti yang sudah dibahas sedikit diatas, bahwa ada perbedaan antara pendidkan Barat dengan pendidikan Islam. Mengutip pernyataan sebuah artikel yang ditulis oleh Dzikrullah (Majalah Alia: Maret 2010), ada dua orientasi pendidkan yang ada di dunia, yaitu Oxbridge (Oxford dan Cambridge) dan Madinah. Di dalam sejarah dinyatakan bahwa dalam perkembangannya, banyak kontroversi yang terjadi di Oxbridge berkaitan dengan tingkah laku dari para pelaku pendidikannya. Misalnya, di Barat cenderung ada pemisahan antara ilmu pengetahuan dengan agama. Di Oxbridge, seorang professor yang homoseksual dan melakukan tindakan amoral tetap akan dihormati karena keilmuannya. Hal ini akan berbeda jika di Madinah, jika seseorang memisahkan ‘aqidah, akhlaq dan ‘ilmu maka kealimannya batal, apalagi jika ia ketahuan melakukan maksiat dan meninggalkan shalat.
Akibat dari ini semua adalah jika kita ingin memilih contoh pendidkan berkarakter yang bagus, mari berkaca pada Madinah.

Bagaimanakah Cara Membangun Pendidikan Berkarakter?
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Untuk meningkatkan pendidikan karakater tersebut dibutuhkan sebuah proses yang tidak singkat dan tiap orang memiliki waktu yang tidak sama dalam menginternalisasinya. Proses pembentukan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering disebut sebagai faktor bawaan (endogen atau nature) dan oleh faktor lingkungan (eksogen atau nurture). Antara keduanya ada interaksi: manusia dapat mengubah/membentuk budaya lingkungan, tapi lingkungan juga dapat membentuk karakter manusia (Jati Diri Bangsa dalam makalah Conny R. Semiawan, 2010).
Dari dua faktor yang telah tersebutkan, maka bisa dikatakan bahwa pendidikan (keluarga, masyarakat, ataupun formal) memiliki peranan penting untuk memodifikasi karakter seseorang pada domain nurture, dimana ada peran bagaimana pendidikan mencoba menciptakan kondisi “ketidaksengajaan yang disengaja” dalam rangka membentuk karakter peserta didiknya.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Sebagai Orang Tua
Rasulullah pernah menyatakan bahwa ibu adalah madrasah pertama seorang anak. Jadi, ada wewenang dan peran dari ibu dan juga aah untuk membentuk karakter anak-anaknya. Bahkan ada pepatah yang menyatakan buah tak jatuh dari tangkainya. Beberapa cara yang bisa dilakukan orang tua yaitu:
1.Orang tua harus menjadi model bagi anak-anaknya. Tidak mungkin kita menyuruh anak-anak untuk shalat, sementara kita tidak mengerjakannya.
2.Ibu berperan sebagai madrasah ilmu, pemberi rasa aman dan kasih sayang, seorang da’iyah, dan sebagai teman dan kakak bagi anak-anaknya tergantung konteks. Ia akan menjadikan rumahnya sebagia istananya, dan tanpa harus meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu, ia boleh saja beraktivitas di luar rumah dengan tuntunan syar’i. Sedangkan ayah harus menjadi imam yang baik bagi keluarganya, pelindung, pemberi rasa aman, pemberi semangat dan dorongan, pemberi rasa percaya diri disamping sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
3.Menyalurkan nilai-nilai positif pada perkembangan jiwa dan akhlaq anak.
4.Mendekatkan anak dengan masjid sebagai basis kegiatannya, sama seperti Madinah.
5.Menekankan pada anak bahwa nilai tinggi bukanlah tujuan utama menuntut ilmu, namun bagaimana ia bisa menguasai ilmu itu dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan umat.
6.Memilihkan sekolah agama yang bagus buat anak, yang membantu mengajarkan nilai-nilai keislaman.
7.Membantu anak untuk membangun karakter positif dengan tidak berbohong, memberi cap negatif, menjadikan televisi sebagai baby sitter, meremehkan anak, tidak peduli, mengajarkan anak bersikap materialistik, dan hal-hal negatif lainnya.
8.Memilihkan guru yang baik.
9.Memilih bacaan-bacaan yang baik.
10.Mengenali dengan siapa anak bergaul.
11.Memberikan anak kebebasan yang bertanggung jawab, dan adanya penekanan bahwa anak boleh berbuat apa saja selama itu dibolehkan oleh agama dan mengingatkan bahwa Allah Maha Melihat apa yang kita kerjakan.
12.Mencari tahu perkembangan terbaru tentang apa yang anak sukai sehingga bisa update dengan apa yang mau dibicarakan dengan anak.

Sebagai Guru

Guru dianggap memiliki peran besar bagi perkembangan seorang individu setelah orangtuanya. Karena itu guru harus bisa menanamkan nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai moral, serta nilai-nilai agama kepada anak lewat mata pelajaran yang diajarkannya. Setiap kali guru mengajar, hendaknya tidak hanya mengajarkan konseptual, tapi juga menghubungkannya dengan nilai-nilai kehidupan. Hal ini akan membuat anak memiliki pemikiran yang positif dan melekat dalam sanubarinya. Sebagai guru yang memprioritaskan pendidikan karakter, maka jadikanlah Al-Qur’an dan hadist sebagai acuan pengajaran yang sesuai dengan perkembangan anak. Guru juga harus bisa berperan sebagai teman yang bisa diajak curhat, guru yang bisa ditanyai, dan orang tua yang dihormati. Untuk itu, guru perlu membangun kedekatan dengan anak didiknya, memahami bagaimana karakter mereka sehingga anak menjadi nyaman.

Kesimpulan

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menitikberatkan muatannya pada bagaimana membentuk seseorang agar tidak hanya sekedar tahu, tetapi juga mampu merasakan sekaligus mengamalkan kebenaran secara baik dan benar. Bila pendidikan karakter ini berhasil dilaksanakan, maka tidak akan ada lagi timbul frustasi sosial di tengah masyarakat, seperti yang dikatakan William Chang. Dimana orang cenderung melihat hidup tak lagi mempunyai makna. Hidup orang lain cenderung dinilai sangat murah, sama sekali tak dihargai martabatnya sebagai manusia. Itu semua terjadi karena menurunnya kualitas pendidikan kemanusiaan, baik di keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Disinilah perlu peran aktif dari lembaga pendidikan formal dan masyarakat, terutama keluarga untuk mampu menciptakan kondisi “ketidaksengajaan yang disengaja” dalam memodifikasi karakter yang belum dapat memancarkan cahaya yang semestinya.

Referensi

Anonymous. Membentuk karakter cara Islam (http://pustaka-ebook.com/membentuk-karakter-cara-islam/) diakses 16 Juni 2011 pada 9.00 pm.
Dzikrullah. Oxbridge dan Madinah. Majalah Alia edisi Maret 2010 halaman 38-40 ditambah beberapa artikel terkaut pada halaman majalah tersebut.
Husaini, Adian. Perlukah Pendidikan Berkarakter? (http://www.bogoreducare.org/perlukah-pendidikan-berkarakter.html ) diakses pada 16 Juni 2011 pada 9.20 pm.
Lussy. Pendidikan Karakter Bukanlah Barang Baru. (http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html) diakses pada 16 Juni 2011 pada 9.15 pm.
Resume (plus modifikasi) dari “Character Building for Children: Toward A national Identity of Quality and Dignity" yang disampaikan Conny R. Semiawan dan Dede Rahmat Hidayat dalam Kegiatan Program Alih Kepakaran "Conny Semiawan's Lecture on Education" pada tanggal 2 Juni 2010 (seri 3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar